Dipertanyakan
oleh: Raikal
Di tengah derasnya arus angin yang menghantam tubuhku,
di sela-sela tawa dalam ruang hening yang kuciptakan, dan disaat kenyamanan
mencari celah untuk masuk ke dalam pikiranku, aku tiba-tiba terpikir suatu hal
yang kuanggap sangat menarik untuk dibahas; “hipokrit”. Kata yang seringkali
terlintas di pikiranku saat melakukan diskusi “intim” dan menghakimi ucapan
seseorang yang tidak sesuai dengan realita hidup yang dia jalani. Begitu juga
saat aku membaca sebuah tulisan dan mengetahui bagaimana kenyataan bahwa
penulisnya sangat “palsu” di tulisan tersebut.
Tetapi itulah yang menarik dari kata ini, bagaimana
aku mencoba untuk berpura-pura menjadi pecinta sastra garis keras, padahal
karya Tere Liye tak pernah menghantui pikiranku. Konsep kepalsuan ini, yang
selama ini kupahami dengan kata "hipokrit", sungguh mengusik.
Hipokrit yang selama ini ku kenal selalu berkonotasi negatif, tapi aku terpikir
atas dasar apa kata ini dihakimi negatif? Atau jangan-jangan, dia hanya korban
dari salah tafsir?
Mari kita coba bedah kata ini melalui pendekatan
bahasa terlebih dahulu. Kata hipokrit berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu hypokrites,
yang artinya pemain panggung atau aktor. Fakta yang sangat menarik, bukan?
Bagaimana perkembangan kata yang awalnya netral dan tak berdosa ini menjadi
kata yang memiliki energi negatif, sebenarnya bukan tanpa sebab. Ada beberapa
alasan yang membuatnya menjadi korban “pelecehan” simbolis ini.
Padahal, jika dilihat dari sudut pandang bagaimana
seorang aktor memakai topeng dan dimaknai dengan kepura-puraan, lantas apakah
itu menjadi alasan yang kuat agar hipokrit ini menjadi berdosa? Apakah
selamanya untuk menjadi 'palsu' akan selalu menjadi hal negatif dan menyimpang
dari moral?
Untuk menjawab hal-hal tersebut, terkadang kita perlu
bertanya lagi pada diri sendiri, mengapa kita hanya terpaku pada
"hitam" dan "putih" dalam dunia ini? Mengapa hanya ada
benar dan salah di sini? Karena apa yang kita anggap benar selama ini belum
tentu benar, begitu pun sebaliknya. Dunia tidak hanya berjalan untuk melihat
dua warna tersebut. Bahkan, masih banyak hal yang jauh lebih indah dari dua
warna tersebut, tapi lantas mengapa dikotomi ini begitu "laku" di
dunia saat ini?
Orang tidak ingin tahu bagaimana hitam dan putih itu
tercipta. Orang hanya ingin ikut untuk turut menghitamkan dan memutihkan,
bahkan tanpa memiliki dasar apa pun. Tapi apakah orang-orang yang seperti
inilah yang menghakimi dan melecehkan kata hipokrit ini sekarang?
Mungkin jawabannya iya. Mereka yang begitu cepat
menghakimi "hipokrit" adalah mereka yang gagal melihat nuansa di
balik setiap tindakan. Mereka melihat topeng sebagai sebuah kebohongan mutlak,
bukan sebagai mekanisme bertahan hidup atau bahkan bentuk adaptasi sosial.
Seorang karyawan yang tersenyum ramah kepada atasan
yang tidak ia sukai, seorang anak yang memuji masakan ibunya agar tidak
menyakiti perasaan, atau bahkan seorang penulis yang berpura-pura menjadi
pecinta sastra apakah mereka semua harus dicap sebagai hipokrit yang berdosa?
Atau, apakah mereka hanya mencoba menavigasi kompleksitas dunia dengan cara
yang paling tidak menyakitkan?
Pada titik ini, hipokrit bukan lagi sekadar kepalsuan.
Ia adalah sebuah seni berinteraksi, sebuah topeng yang kita pakai untuk
melindungi diri atau orang lain. Hipokrit yang negatif mungkin adalah mereka
yang menggunakan kepalsuan untuk merugikan orang lain. Namun, hipokrit yang
netral atau bahkan positif adalah mereka yang menggunakan "topeng"
itu untuk menjaga harmoni, menghormati perbedaan, atau sekadar bertahan di
dunia yang seringkali menuntut kita untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita.
Jadi, bisakah kita berhenti menghakimi kata ini dan
mulai membedah niat di baliknya? Mungkin kita akan menemukan bahwa di balik
setiap topeng, ada cerita yang jauh lebih kompleks dari sekadar hitam dan
putih.

0 Komentar