Pedansa Kupi Sareng

 Diramu oleh: Si Breh

Semakin tinggi tangan diangkat, kopinya akan semakin nikmat. – Pedansa Kupi Sareng, 2025

        Itulah perkataan yang saya dengar ketika hendak menikmati kupi sareng Aceh. Kupi sareng memiliki cara penyeduhan yang khas, peracikan yang unik dan penyajian yang khusus. Pada saat ini kebanyakan kopi dibuat dengan menggunakan coffee maker, sebuah mesin yang digunakan untuk menyeduh kopi secara otomatis dan dilengkapi dengan beberapa fitur canggih untuk membuat kopi dengan mudah dan praktis. Akan tetapi, kupi sareng mempunyai cara penyajian berbeda, yakni dengan menggunakan saringan berbahan kain untuk menyaring bubuk kopi sehingga menghasilkan segelas kopi yang hitam, harum dan pekat. Kupi sareng memang telah menjadi salah satu bentuk budaya dan kebiasaan masyarakat Aceh ketika hendak menikmati hiruk-pikuk warung kopi. Saya yang awalnya hanya menjadi penikmat kupi sareng, sekarang telah beralih menjadi “sang pedansa kupi sareng”, begitu saya menyebutnya. Seorang yang tak hanya menikmati kopi dengan menyeruputnya, tapi juga mulai meracik, merakit dan menyeduhnya.

            Pedansa kupi sareng, atau pada umumnya orang-orang menyebutnya seorang peramu kopi, telah menyadarkan saya pada suatu hal yang berbeda di dalam proses pembuatan kupi sareng. Kupi sareng bukan hanya tentang cara menyaring dan membuat secangkir kopi, tetapi terdapat banyak hal unik yang terletak di dalam proses pembuatannya, baik itu dalam proses penyeduhan, penyaringan hingga penyajian. Bubuk kopi bukan hanya sekadar diseduh dengan air panas tetapi direbus dan dijaga agar tetap dalam keadaan mendidih dan menguap, sehingga aroma serta cita rasa pada kopi tetap terjaga. Bubuk kopi yang telah direbus akan mengalami beberapa kali proses penyaringan, dengan menggunakan saring berbahan kain yang berbentuk lancip ke bawah. Kopi dari hasil saringan itu kemudian disajikan ke dalam sebuah gelas dan diletakkan di atas tatakan (cipe) hingga terciptalah sebuah kupi sareng yang hitam, pekat, harum dan tanpa tersisa bubuk kopi sama sekali di dalam gelasnya.

            Kupi sareng bisa dinikmati oleh berbagai kalangan usia, jenis kelamin maupun dari berbagai latar belakang kelas ekonomi, orang-orang itu kemudian larut dalam perkumpulannya. Kupi sareng bukan hanya menjadi minuman di kala otak membutuhkan inspirasi, tetapi telah menjadi teman di kala diskusi, juga menjadi salah satu medium solusi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat Aceh pada umumnya. Kupi sareng dapat ditemukan di semua warung kopi, terutama di Aceh, menikmati dan minum kopi sareng telah menjadi sebuah ritual yang kemudian bertransformasi menjadi simbol gaya bersosial masyarakat. Menikmati secangkir kupi sareng dari pagi hingga malam dan sepotong atau dua potong gorengan sebelum memulai aktivitas telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Aceh, terutama bagi kaum laki-laki yang hendak memulai aktivitas maupun setelah usai beraktivitas. Kenapa hanya laki-laki? Tentu, ini akan menjadi perdebatan yang panjang dan tak kunjung usai. Ada baiknya kita bahas di tulisan berikutnya.

          Seiring berjalannya waktu, kupi sareng telah berkembang dalam berbagai gaya dan rumus penyajiannya Tidak hanya terpaku pada kopi hitam, tetapi mulai menghasilkan jenis racikan baru yang disebut Sanger. Sanger adalah bentuk lain dari kopi susu, meskipun campurannya sama (kopi dan susu), bisa dikatakan ramuan kopi dan susu yang satu ini mirip dengan rasa kopi susu pada umumnya, hanya saja kopi yang dicampurkan susu di dalam penyajian sanger menghasilkan rasa kopi yang agak sedikit pahit ketimbang kopi susu pada umumnya. Sanger memiliki rasa kopi yang lebih dominan dari kopi susu lainnya. Oleh karena itu sanger lebih digemari oleh kalangan muda, karena sensasi dari rasa manisnya lebih ramah bagi mereka. Dibandingkan dengan kopi hitam, meski sudah ditambahkan gula, namun sensasi antara menegak sanger dan kopi jelas sama sekali berbeda. Kopi hitam manis dan sanger adalah dua hal yang berbeda. Meski pada akhirnya sama-sama memiliki rasa manis.

            Kupi sareng dan sanger menjadi menu minuman utama di warung kopi Aceh. Kedua hal tersebut masing-masing memiliki penggemar dari dua generasi yang berbeda. Kopi hitam lebih digemari oleh kaum yang lebih tua, sedangkan sanger disukai oleh kalangan muda, bahkan mudi. Sehingga hal tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di tiap kelompok penggemarnya, bila ada yang bertanya, “manakah yang lebih enak, kopi hitam atau sanger?” Tentu akan menciptakan polarisasi yang cukup kental. Dan juga perdebatan.

Bahkan telah menjadi hal yang lazim ketika seorang pria tua yang menyukai kopi hitam lalu meremehkan kaum muda yang menyukai sanger, karena menurutnya ketika hendak menikmati kopi, haruslah kopi yang benar-benar hitam dan pekat dan tidak dicampurkan dengan susu. Susu adalah tanda kelemahan, seperti bayi. Penggemar sanger hanya bisa menyambutnya dengan senyum halus, sambil berbicara dalam hati “apalah kami, hanyalah seorang bayi”. Setelah merespons itu, kaum muda kemudian lanjut memakan waktu dengan bermain gim yang diselingi diskusi kecil tentang isu-isu yang sedang terjadi kala itu, tapi hanya selingan, sementara orang-orang tua lebih sering membahas tentang yang lebih serius, tentang hal-hal yang tak bisa diselesaikan oleh bayi sekalipun, yakni tentang peristiwa yang terjadi di kampung tempat tinggalnya.

           Lambat laun kemudian, keberadaan warung kupi semakin berkembang dan dikenal hingga ke luar daerah Aceh. Salah satunya di Kota Yogyakarta, sebuah kota yang dikenal sebagai kota pelajar, juga sebagai tempat saya belajar dan berpikir, selain meracik kupi. Kota ini telah menjadi salah satu tempat yang strategis bagi kaum pelajar maupun pebisnis. Warung kupi sareng Aceh telah lama eksis di kota sultan itu, namun saya tidak tahu pasti sejak kapan populer warung kupi sareng di wilayah itu. Ketika saya tiba di sini, di Yogyakarta, saya langsung diarahkan ke warung kupi Aceh setempat. Tentu saja ada kopi hitam dan sanger di dalam barisan menunya. Saya bersyukur bisa menikmati kupi sareng, apalagi jarak kota ini dengan Aceh tergolong amatlah jauh. Disinilah cikal bakal saya tertarik untuk belajar cara menjadi pedansa kupi sareng. Dalam prosesnya, saya menyadari ada beberapa perbedaan suasana antara warung kupi sareng di Jogja dan Aceh. Bila di Aceh nongkrong dari pagi, siang, sore, bahkan hingga malam bersama teman adalah hal biasa, sedangkan di Jogja, malah sebaliknya, seseorang yang candu dengan kopi Aceh lebih condong menikmatinya hanya untuk sekadar melepas penat setelah melakukan rutinitasnya. Meski rasa minumannya sama dengan di Aceh, namun kebudayaan yang menyelimutinya amatlah berbeda.

           Kupi sareng tidak hanya menjadi salah satu menu minuman di warung kopi, tetapi menikmatinya di segala kondisi telah menjadi budaya. Hal itu telah mengakibatkan perubahan pola hidup seorang masyarakat Aceh di perantauan, dimana hal tersebut bisa kita temui di semua kalangan ketika hendak melakukan sebuah aktivitas yang harus ditemani dengan kopi. Kupi sareng telah mengajarkan saya banyak hal dalam cara bersikap dan bertindak. Pelajaran bersikap demikian saya dapatkan ketika hendak menyeduh kupi sareng, saya mesti memperhatikan takaran bubuk kopi, tingkat kepanasan api dan takaran air yang mesti diseduh. Tindakan seperti itu perlahan-lahan memaksa saya untuk lebih memperhatikan suatu hal secara teliti dari awal hingga akhir. Menurut saya, dinamika dan jalannya proses sosial yang disebabkan oleh budaya yang ada di dalam warung kupi sareng adalah hal yang positif dalam kehidupan sehari-hari. Warung kupi sareng telah menjadi sebuah sarana untuk berkumpul, membicarakan dan mendiskusikan suatu hal. Bagi seorang pedansa kupi sareng, suasana memperdebatkan maupun mendiskusikan suatu kejadian yang dilakukan oleh penikmat kopi sareng sudah menjadi seperti radio yang berputar tanpa henti. Ya, begitu perjalanan karir seorang pedansa kupi sareng. Salam kupi sareng! Kopi tak butuh filosofi!



Posting Komentar

0 Komentar