Pocut Meurah Intan: Sang Pemberani dari Aceh yang Nyaris Terlupakan

 

Diterjemahkan oleh : Arinal

Setelah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim di waktu subuh, dua orang; sang kakak dan adik bersiap-siap meninggalkan Yogyakarta. Bukan untuk selama-lama, hanya memenuhi panggilan hati yang tidak banyak diketahui orang, yakni menziarahi tempat peristirahatan terakhir seorang yang gemar menyusahkan musuhnya, sang harimau betina dari Aceh, Sumatera; Pocut Meurah Intan.

Nama yang terkenal di eranya, namun kini tak sering berdengung lagi di telinga banyak orang, tertimbun di antara deretan pahlawan yang telah dahulu masyhur di dalam buku sejarah atau pidato-pidato seremonial di Aceh. Dia adalah salah satu pemimpin komando perang gerilya yang membuat susah Belanda.

Pengaruhnya yang kuat akhirnya memaksa Belanda untuk “mengusir” Pocut Meurah Intan ribuan kilometer jauh dari tanah kelahirannya. Atas rasa penasaran itu, kakak beradik yang berasal dari Aceh dan telah lama merantau ke kota Yogyakarta atas alasan melanjutkan studi, berangkat menuju arah timur, tempat peristirahatan terakhir sang pahlawan, Blora.

Perjalanan mereka bukan sekedar mencari batu nisan tua—melainkan menemukan kembali nama yang sempat diasingkan dari arus besar sejarah; mereka menuju Blora. Tempat yang tidak masuk dalam daftar destinasi wisata populer, apalagi dalam ingatan kolektif orang Aceh dan Indonesia.

Sepanjang perjalanan pergi, Sang Kakaklah yang mengemudi. Motornya berjalan santai saja, tidak terburu-buru, dengan perlahan tapi pasti. Dalam perjalanan menuju Blora, dari atmosfer perkotaan—yang ditutupi beton bertegak besi, dibelah jalan lintas provinsi— berganti menjadi sayupan rayuan angin sawah dan kabut-kabut menutupi lembah. Namun jalan ke arah timur dari Jogja seolah dibelai oleh alamnya sendiri, “tidak semua begitu.” mereka mulai sadar, mungkin yang selama ini mereka kenal sebagai “Jawa” hanyalah sebagian kecil dari kenyataannya.

Perjalanan itu memantik kembali ingatan; “Di Jawa semuanya tersedia”, “fasilitas lengkap”, atau “pendidikannya bagus.” Begitulah  kurang lebih ghibahan sehari-hari putra daerah lain jika sudah menyinggung tanah petualangan dakwah para Walisongo. Ternyata, Masih ada daerah “Jawa” yang belum mendapat manfaat dari pajak yang mereka serahkan sendiri. Blora misalnya, yang digadang sebagai salah satu penopang pangan nasional, harus berhadapan dengan krisis air (Ramadhana, 2024). Anak-anak murid dari SD sampai SMP terhambat pendidikannya lantaran tenaga pengajar yang kekurangan (Kejaksaan Negeri Blora, 2025).

Di tengah keterbatasan dan tantangannya, Blora beserta masyarakat yang dikandungnya memegang filosofi hidup yang kuat dan merdeka. Prinsip tersebut dilukiskan dengan indah dalam batik bermotif daun jati yang menjadi simbol kekuatan dan ketahanan (Rumah Batik Serasan, 2024). Dari Blora juga terlahir gerakan perlawanan rakyat terhadap kolonialisme yang diprakarsai oleh Ki Samin Surosentiko. Sebuah perlawanan yang berubah menjadi ajaran filosofis (Saminisme) tentang kebebasan, kesetaraan, bahwa manusia tidak berhak mengungguli satu di atas yang lain (Trisnova, 2010).

Siapa yang menyangka, tanah yang menumbuhkan bunga perlawanan dipilih menjadi tempat dibuangnya sang pejuang kemerdekaan. Maka, perjalanan pun terus berlanjut, dengan mengikuti banyak pertanyaan: “Apa itu dibuang?”, “Bagaimana rasanya dibuang jauh dari kampung halaman sendiri?”, “Apakah tanah yang asing bisa menjadi tempat terakhir bagi seorang pejuang?”

Pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dan dipompa oleh angin, mendorong perjalanan mereka dengan laju. Sebab di depan, mereka akan berjumpa dengan seorang yang harus dibuang karena pengaruhnya yang kuat bagi lingkungan, bertahan dalam keterasingan. Sosok harimau betina yang ditakuti sekaligus dikagumi oleh bangsa Eropa.

Pocut Meurah Intan, begitulah namanya. ‘Pocut’ sendiri adalah gelar kebangsawanan sebab beliau berasal dari keluarga kerajaan Aceh. Beliau dikenal juga sebagai Pocut Meurah Biheu atau Pocut di Biheu, sesuai tempat kelahirannya. Biheue merupakan negeri atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh, berada di bawah Wilayah Sagoe XXII Mukim, Aceh Besar.

Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu terbagi menjadi bagian wilayah XXII mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng (nama daerah sekitran kabupaten Pidie, Aceh) (Baranom, 2014).

Pocut Meurah Intan lahir sekitar tahun 1833. Sejak kecil, Pocut Meurah Intan sudah dididik ketat secara agamis dan patriotis oleh Ayahnya, Teuku Meurah Intan yang merupakan Hulubalang di Biheu. Pendidikan karakter inilah yang menumbuhkan jiwa kepemimpinan pada diri seorang perempuan Aceh ini. Ia tegas dalam urusan ketertiban, keamanan, dan kemakmuran masyarakatnya, tak heran pengikutnya banyak; sosok pemimpin yang lahir dari akar rumput tanahnya sendiri, siap menghadapi segala tantangan yang hendak mengganggu tanah air (Mukhaer, 2021).

Saat motor mereka semakin dekat dengan Blora, jalanan mulai terasa berbeda. Jauh dari pengaruh kota pusat yang “serba instan dan tergesa-gesa”. Seolah mereka tidak sedang bepergian jauh ke tanah asing, namun pulang ke kampung halaman yang teduh dan asri; ada yang menggantung cangkul dan atau arit di samping motornya menuju kebun, ibu-ibu berjilbab pink sedang menawar harga kacang panjang, sedang anaknya menggigit jari memperhatikan penjual mainan yang lihai memainkan yoyo kayu. Sebuah lakon kehidupan sederhana yang memancing kerinduan. Di tengah alunan romansa itu, sang kakak memecah keheningan, "Dek, kadang suatu tempat seperti ini bisa jadi saksi sejarah yang tidak terduga, ya."

"Maksudnya?" tanya sang adik penasaran.

"Ya, seperti pasar jalanan yang baru saja kita lewati. Siapa sangka, suasana yang seolah tidak berdosa, biasa saja, dahulu pernah mengarak peristiwa berbalut ironi; Pocut Meurah Intan diantar pulang ke tempat yang bukan asal dia lahir. Dia berpulang ke tempat yang lebih sejati: bersiap berjumpa Sang Penghimpun nyawa. Meskipun begitu, ini semua, kan, tidak lepas dari kongkalikong besar para penjajah."

Sekitar satu dekade sebelum kelahirannya (1824), terdapat perjanjian sakral (antara Inggris dan Belanda) yang malah menjadi bom waktu tersendiri bagi kolonial Hindia-Belanda: Traktat London. Salah satu poin dalam traktat tersebut menegaskan bahwa ‘Belanda sekali-kali tidak boleh mengusik kedaulatan Aceh sebagaimana Aceh tidak perlu mengganggu jalur pelaut dan perdagangan Belanda’. Namun dibukanya terusan Suez secara resmi pada tahun 1869 menjadikan Aceh masuk dalam wilayah strategis perdagangan. Atas dasar ketamakan, Belanda mendesak kembali Inggris agar mau ‘merobek’ perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan Pantai Emas di Ghana sebagai sogokan, dibuatlah traktat baru–yaitu traktat Siak yang nanti berubah nama menjadi traktat Sumatra– pada tahun 1870 mengenai batasan wilayah Aceh. Dengan narasi yang agak dipaksakan; Aceh ‘demi kepentingan politik yang mendesak tampaknya harus dikuasai Belanda’ (Veer, 1985).

Setelah berbagai kronologi itu akhirnya membuat ekspedisi para kolonial melihat suatu peluang di pulau-pulau nun jauh dari kampung mereka. Datanglah kapal-kapal Belanda di Pantai Kutaraja pada tahun 1873. kedatangannya tidak lagi indah, apalagi ramah untuk disambut. Keramahan hati masyarakat nusantara berubah menjadi bahan bakar penyulut api perjuangan–mempertahankan kehormatan dan tanah air.  Dia, Pocut Meurah Intan, dengan gagah berani memimpin jiwa yang merdeka, menjadi Panglima Gerilya di Laweung. Tak memandang kelamin apalagi usia, Pocut Meurah Intan terus mendesak penjajah Belanda untuk memikirkan kembali tindakan angkuh mereka itu. Yang mereka hadapi bukanlah masyarakat barbar yang tidak punya rasa kepemilikan apalagi dungu, masyarakat nusantara juga Khalifatullah yang Tuhan titipkan tanah dan air, hutan dan laut, binatang ternak dan ikan-ikan, agar dipelihara dan akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kemudian.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka memutuskan untuk menepi, sekadar melemaskan kaki dan mengisi perut yang tidak mungkin kenyang disuapi kenangan. Sebuah warung ayam geprek di pinggir jalan tampak syahdu. Mereka pun memarkir motor dan masuk.

Sang kakak melihat menu, lalu memesan. "Pedesnya standar aja, Bu," ucapnya.

"Standar niku pundi, Mas?" tanya si ibu penjual dengan ramah, membuat sang kakak sedikit panik.

Sang adik yang lebih fasih langsung sigap. "Niki lho, Bu, pedese sing koyok omongane mantan!" jawabnya sambil terkekeh.

Ibu penjual ikut tertawa. Obrolan sederhana itu membuat suasana menjadi cair. Obrolan santai itu beralih pada sosok Pocut Meurah Intan. "Apa Abang tau, zaman itu di Eropa, perempuan baru berjuang buat hak pilih, sementara Pocut udah mimpin perang gerilya. Menarik kan?" kata sang Adik. "Apalagi pas dia ditinggal suaminya, dia malah makin kuat. Bukan malah jadi lemah."

Dalam periode yang sama, saat di Barat sedang panas-panasnya suara perempuan diperjuangkan dalam hak pilih politik (Mardika, 2024), Pocut Meurah Intan sudah menegaskan sikap independennya atas nama agama dan bangsa. Ketika janji “hidup merdeka atau mati syahid bersama” ditanggalkan sepihak oleh belahan jiwanya, Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan mengambil keputusan mutlak. Bukan menuruti pilihan aman, Dia ceraikan suaminya, dia tinggalkan. Bersama ketiga anaknya—Muhammad, Budiman, dan Nurdin—gerilya tetap diteruskan.

Dua porsi ayam geprek pun dihidangkan. Sang adik menyerbu nasi dengan dada ayam yang sudah di tumbuk bersama cabai dan bawang itu, bertanya-tanya: “Apakah Pocut Meurah Intan atau Kartini adalah kasus langka, dimana perempuan memegang kendali penuh dalam memperjuangkan kemerdekaan?” Bagaimana kita kini memaknai kata ‘perempuan’ di era modern sebagai antitesis dari kejahatan patriarki oleh ‘laki-laki’. Mengapa ada perseteruan antara dua jenis gender bahwa yang satu diuntungkan secara seksual, yang satu menjadi objek pemuas? Sejak kapan kehidupan sangat dipengaruhi oleh masalah materil dalam kolor? Apakah ‘perempuan’ di satu tempat sama maknanya dengan ‘perempuan’ di tempat lain?

“Hahahaha, kebingunganmu seperti orang kaphe Belanda itu!” Ejek si kakak.

Memang pada masa peperangan di awal abad 19, laporan-laporan yang diterima pusat Hindia-Belanda sering Mengundang tanda tanya bertinta merah. Sudah menjadi hal tak terelakkan jika ada warga sipil yang “tidak sengaja dibunuh” oleh aparatur Belanda. Namun apa yang mengherankan adalah, bagaimana mungkin perempuan (yang dianggap hanya sebagai warga sipil) begitu banyak menjadi korban seolah mereka tidak tinggal di kediaman suaminya tetapi di hutan belantara Tuhan? (Clave, 2014).

Perempuan-perempuan ini tidak ditulis sebagai vjanden (musuh) yang biasa disematkan pada lelaki, melainkan dikategorikan sebagai als man verkleede gewapende vrouw (perempuan berzirah laki-laki) atau vrouwen in mannenkleeren (perempuan berpakaian seperti pria).

Seorang Jurnalis perang, H. C. Zentgraaff, memperkirakan ada ratusan hingga ribuan perempuan ikut andil dalam Perang Aceh. Bahkan tak kala mereka mengangkat senjata, ghirah semangatnya melampaui semangat kaum pria (Lanzona & Rettig, 2022). Kematian bukanlah hantu yang bergentayangan lagi menakuti, dialah prestasi tertinggi dalam mega laga yang diinginkan seorang ksatria. Semakin banyak luka, semakin panas darahnya, semakin orang terdekatnya ‘pulang’ duluan, semakin menggebu keinginan untuk mengikuti. Sehingga tampaklah keanehan itu menurut imajinasi tentara Barat. Tidak masuk akal karena di kampung mereka tidak begitu (mungkin).

“Aku tidak bilang kalau perempuan harus garang,” lanjut si kakak, “Maksudku, mungkin, bagaimana kita menafsirkan hubungan perempuan-laki-laki di era modern ini secara hirarkis, mengaku-ngaku bahwa itu adalah warisan nenek moyang kita, mungkin tidak serumit seperti yang kita yakini.” Sang kakak berhenti sejenak, hendak mengelap bibirnya yang berbekas cabai dan tepung, “Atau bahkan hubungan itu sebenarnya warisan palsu dari nenek moyang yang palsu juga? Ah, mungkinkah...” si Kakak saat itu juga baru tertegun oleh pernyataannya sendiri. Sedang sang adik mendengar saja, tidak menjawab. Merekapun merampungkan hak perut masing-masing. Mereka kenyang.

Di belakang warung mereka menemukan mushalla kecil. Mereka memutuskan untuk mendirikan shalat Dhuha disana. Mereka sadar, perjalanan ini–telah menyibak berbagai warna yang romantis, namun sudah mulai buram diretas oleh apa yang orang asing sebut “kemajuan” dan “keberadaban”– tidak hanya sekedar perpindahan diri dari satu tempat ke tempat lain, tetapi semakin jauh dari permulaan, semakin dekat dengan tujuan, perjalanan ini mengupas peristiwa menunjukkan kesejatiannya.

Apa yang dua anak rantauan itu lakukan tidak akan mampu menerjemahkan segalanya, karena mereka semakin sadar betapa kecil posisi mereka dalam hikayat raksasa yang sudah melampaui masanya. Perjalanan ini melemaskan tungkuk leher mereka, menyerahkan segala kuasa dari berdiri, perlahan merukuk, mencoba berdiri lagipun, akhirnya bersujud kembali.

“Semoga, bersihlah niat kami dari segala rayuan kejahatan yang memanfaatkan ketidaktahuan untuk kepentingan sepihak. Semoga, setangkai cerita Pocut Meurah Intan nanti, mekar indah dipandang dunia, abadi menyelisihi waktu yang fana. Dan Semoga, risalah ini tidak hanya berhenti begitu saja, semoga ia hidup, memantik api dalam tiap-tiap jiwa yang dipaksa redup, menjadi penerang bagi diri dan sekitarnya, menyilaukan mata-mata yang masih tertutup. Dan bagi pribadi kami, semoga perjalanan kami direstui Tuhan dan bangsa, bertambahlah cinta pada negeri yang telah dipupuk oleh daging pahlawan dan darah para syuhada. Amin.” Keduanya membasuh roman dengan doa. Maka, Selepas itu, mereka pun melanjutkan perjalanan.

Jalanan mulai mengecil. Mungkin muat satu mobil atau dua. Kiri kanannya hanya ada bentangan sawah yang belum masuk masa panen. Di sebelah kanannya, tampak pemakaman umum bernama Tegalsari, Blora, pucuk dari tujuan ziarah mereka. Kecepatan motor mulai menurun. Hal itu kontras dengan jantung mereka. Detaknya semakin kencang, perjalanan yang panjang itu sudah sampai ke muka.

Desir angin yang merata, mengantar santun kakak-beradik itu untuk menepikan motor dahulu. Mereka turun, menarik nafas, lanjut berjalan, sesaat lupa menghela. Mereka mencari-cari, mana makam nenek moyang mereka itu? Mereka menyisiri sudut-sudut yang dicurigai sebagai tempat kelindanan perkara, hingga tampak di sebelah utara sebuah nisan yang hitam kehijauan, di pagari serantai besi, diantara kaki dan kepalanya, dihiasi oleh pucuk yang berbentuk teratai kepala kuning. Pada sisi makam bertulis dua kalimat syahadat dalam bahasa arab, lalu di tengahnya bertulis: “POTJUT MIRAH INTAN. WAFAT: 20-9-1937”.

Disinilah tempatnya beristirahat dari panjangnya perjuangan menjaga martabat bangsa dan agamanya. Namun, sebelum Pocut Meurah Intan sampai ke tanah damai ini, dia harus melalui sebuah pertempuran terakhir yang paling epik; pertempuran yang membuatnya disanjung oleh musuhnya sendiri.

Pada tahun 1900, anak sulungnya, Tuanku Muhammad ditangkap. Namun penangkapan itu malah meningkatkan semangat Pocut Meurah Intan. Cinta yang besar akan tanah kelahiran semakin mempertajam belati dalam jiwanya. Di dalam belantara hutan Sumatera itu, menemukan Pocut Meurah Intan bukanlah perkara mudah bagi Belanda. Dengan strategi perang gerilya, Pocut Meurah Intan seperti harimau Sumatera yang tidak hanya bersembunyi, dia memantau pergerakan orang yang hendak mengusik tempat kekuasaannya. Barulah dua tahun kemudian harimau betina itu di kepung di Sigli, kabupaten Pidie, Aceh.

Pocut Meurah Intan saat itu sudah terdesak, kesempatan untuk melarikan diri tidak ada lagi, ia malah berbalik badan. Matanya makin tajam, berlari menyerbu 18 pasukan Marsose—elit militer Hindia-Belanda yang dibentuk khusus untuk menghadapi pasukan gerilya Aceh—dengan garang, “Kalau sudah begini, sekalian mati saja!” Serunya lantang bersama rencong dalam genggaman. sebagian dari mereka terkena tusukan tak kenal ampun. Sebagian yang lain mungkin mentalnya yang kena. Bahkan Abimanyu yang perkasa tak kuasa bertahan di tengah formasi perang Cakrabyuha—Formasi perang epos Mahabarata dirancang untuk menjebak dan mengisolasi musuh, dengan setiap lapisan lingkaran memiliki susunan prajurit yang berbeda—diserbu pasukan Kurawa (Pihak antagonis dalam epos Mahabarata), begitu pula dengan Perempuan tua itu dikerumuni 18 laki-laki yang tinggi besar.

Mereka mengeroyoknya. Didapati dua luka di kepala, di bahunya dua, serta salah satu tendon yang mengikat otot betis dengan tulang tumitnya robek. Seperti kisah Achilles, pahlawan perang yunani yang tiada tara, penakluk banyak medan laga, gugur mengerang sakit dari luka di tumitnya. Lain halnya Pocut Meurah Intan, dia tidak mengerang sekarat atau mati. Dia bertahan dengan jiwa yang beriman dan merdeka. Melihat keadaan itu, Seorang sersan yang gentar hendak meminta kepada komandannya, “izinkan saya membunuhnya!” dengan kasar, komandan Veltman menyela, “apa kau sudah gila!?” Lalu Veltman mengulurkan tangan berniat membantu, ditepisnya tangan itu kuat-kuat. “Jangan sentuh aku, kafir celaka!” Hardik Pocut dari Biheu itu.

Mendapati keteguhan Pocut Meurah Intan, Veltman dan pasukannya meninggalkan beliau sendirian. Dengan keadaanya itu, sudah dipastikan beliau merangkak mati menghadap kaumnya sendiri. Namun, beberapa hari setelahnya, Ketika Veltman sedang berjalan-jalan di pasar Biheu (antara Sigli dan Padang Tiji), dia mendengar kabar bahwa Pocut Meurah Intan tidak hanya masih hidup, tetapi Bersiap bersama para pejuang lain menyerang pasukan Belanda di wilayah Biheu.

Mendengar hal itu, Veltman bergegas menuju kediaman Pocut Meurah Intan. Kali ini bukan sebagai musuh, tetapi mengikuti naluri prajurit yang mengerti atmosfer medan perang yang kejam, dia membawa seorang dokter. Sesampainya disana, didapati Pocut dari Biheu itu melaburi luka hanya dengan kotoran lembu, keadaan yang sangat membuat pilu.

Siapa yang tak merasa naif atau malu, memandang semangat jiwa yang begitu mulia masih terjaga dikandung badan yang begitu hancur. Veltman yang fasih berbahasa Aceh itu berusaha membujuk Pocut Meurah Intan untuk diobati. Namun Pocut Meurah Intan masih keras kepala. Dia masih merasa najis disentuh oleh kaphe.

Sampailah berita heroik ini kepada Kolonel Scheuer, seorang opsir yang pernah merebut Puri Cakra Negara di Lombok. Ia khusus datang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat ke Aceh untuk bertemu dan merasakan langsung semangat suci berhati harimau dari seorang Pocut Di Biheue. Zentgraaff dalam Atjeh (1938) menulis:

Scheuer mengambil sikap bagai seorang prajurit. Ia mengangkat tabik tanda hormat, dengan meletakkan ujung jari-jarinya di topi petnya. Kemudian berkata pada Veltman yang paham bahasa Aceh, ‘katakan bahwa saya sangat kagum padanya (Warsidi, 2021).

Tersentuh oleh sikap hormat itu, “kaphe ini boleh juga” Ucap Pocut Meurah Intan sambil tersenyum. Beliau akhirnya mau diobati. Disegani lawan dan dicintai kawan, begitulah Pocut Meurah Intan. Sampai nanti, Kolonel Scheuer dalam catatan resmi berkomentar, “Perempuan itu, bertempur sendirian seperti seorang perwira. Bangsanya patut bangga padanya.” Antara Veltman, Scheuer bahkan orang Belanda yang melihat langsung Pocut Meurah Intan, sepakat bahwa perempuan ini layak menyandang ‘Heldhaftig’ atau sebagaimana sudah disebutkan; “Yang Gagah Berani’. Dia tidak lagi dianggap sebagai buronan yang menyusahkan. Dia, Pocut Meurah Intan, adalah Pahlawan bagi semua orang.

Meskipun takjub, Pocut Meurah Intan tetaplah musuh. Kekaguman yang datang dari kawan sendiri melahirkan motivasi, sedangkan kekaguman yang datang dari lawan menimbulkan rasa was-was dan ngeri. Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, pembuangan tokoh perlawanan ke luar daerahnya merupakan taktik umum yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memutus ikatan antara tokoh dan komunitas pendukungnya.

Takut keberanian Pocut Meurah Intan akan melahirkan “Pocut Meurah Intan” yang baru, akhirnya pada tahun 1905 Belanda mengasingkan ‘Harimau betina’ itu jauh dari kampung halamannya, menyeberang pulau dan samudera, dia diasingkan ke Blora, Jawa Tengah. Disana dia tidak mengajarkan kebencian. “Aku tidak mengajar mereka untuk ikut membenci,” ucap Pocut Meurah Intan kepada salah seorang Belanda dalam suatu sore, “Tapi untuk percaya harga diri tidak pantas dijajah.” (Akbar, 2025).

Di sinilah Pocut Meurah Intan dimakamkan—jauh dari Biheu, tanah kelahirannya, dan dari tempat-tempat ia pernah mengobarkan perang. Tidak ada pelabelan “makam pahlawan” seperti yang biasa kita temukan di tugu-tugu peringatan resmi. Batu nisannya hanya memuat nama dan tahun wafat. Ia bukan bagian dari narasi besar yang dikelola negara; ia adalah bagian dari sejarah yang berjalan di jalur sunyi.

Begitulah rotasi sejarah penuh romansa berporos pada sebidang makam yang jadi tempat peristirahatan dari perempuan berjiwa merdeka. Tidak ada banyak yang bisa dilakukan di hadapan makam yang senyap. Di hadapan makam Pocut Meurah Intan, tindakan paling jujur yang bisa kakak beradik itu lakukan hanyalah membungkuk: menyeka debu, menaburkan doa, dan melepaskan beban menyesakkan dada.

Di titik ini, ziarah berubah dari perjalanan melelahkan menjadi proses kontemplasi. Di hadapan nisan itu, dua bersaudara itu sadar bahwa sejarah bukan hanya milik mereka yang dikenang, tapi juga milik mereka yang dilupakan—yang dibiarkan menjadi debu agar tidak lagi mengganggu narasi besar penguasa yang zalim. Maka debu yang diseka dari batu nisan bukan sekedar kotoran, melainkan lapisan-lapisan waktu yang menyembunyikan nama-nama yang tidak diberi ruang dalam ingatan kolektif bangsa.

“Doa adalah senjata utama umat Islam...” begitulah penggalan nasehat dari Nabi Muhammad SAW. Mereka menunduk, memanjatkan doa, melantunkan syukur, memberikan hormat, memupuk kesadaran: bahwa kita datang bukan untuk memberi, melainkan untuk belajar—bahwa kemuliaan bukan terletak pada pengakuan negara, tapi pada keteguhan mempertahankan prinsip dalam keterasingan. Mungkin sejarah memang tidak pernah netral, sejarah sering diceritakan menurut keinginan pemenang. Namun dengan doa yang sederhana, akan menjadi bentuk perlawanan kecil bahwa harapan merdeka akan tetap dilanjutkan dan dilestarikan. Sebagaimana yang tertulis, “ialah hak kemerdekaan bagi segala bangsa. Oleh karena itu segala bentuk penjajahan—dari penjajahan wilayah sampai penjajahan pikiran—harus dihapuskan”. Kata sang Kakak.

  Maka mereka berdua berpulang. Tidak ada yang dibawa pulang selain keheningan dan kelegaan. Namun perasaan dan kemerdekaan hati dari Sang ‘Harimau betina’ telah diwariskan. Akan dilestarikan sampai generasi ke generasi yang akan datang.



References:

Akbar, F. (2025, Mei 1). Jejak Pocut Meurah Intan: dari padang Tiji ke blora. Pos Aceh. Retrieved July 14, 2025, from https://posaceh.com/jejak-pocut-meurah-intan-dari-padang-tiji-ke-blora/

Baranom, R. (2014, Februari 10). Pocut Meurah Intan (1833-1937): wanita heldhafting (gagah berani) dari Aceh yang terlupakan. Baranom. Retrieved Juli 14, 2025, from https://baranom.wordpress.com/2014/02/10/pocut-meurah-intan-1833-1937-wanita-heldhafting-gagah-berani-dari-aceh-yang-terlupakan/

Clave, E. (2014). Silenced fighters: an insight into women combatants’ history in Aceh (17th-20th c.). In P. Wormser & C. Guillot (Eds.), Archipel, volume 87, 2014. Regards croisés sur Aceh (pp. 273-306). Association Archipel. https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_2014_num_87_1_4465

Kejaksaan Negeri Blora. (2025, April 9). Blora Krisis guru! kekurangan 902 tenaga pengajar, lho kok bisa? Layanan Kejaksaan. Retrieved July 16, 2025, from https://pelayanan.kejaksaan.go.id/beritadaerah/844

Lanzona, V., & Rettig, F. (Eds.). (2022). Women Warriors in Southeast Asia. Taylor & Francis Limited (Sales).

Mardika, R. (2024, September 25). Kisah Suffragette dan perjuangan hak pilih perempuan. Merdika. Retrieved Juni 26, 2025, from https://merdika.id/kisah-suffragette-dan-perjuangan-hak-pilih-perempuan/

Mukhaer, A. A. (2021, Maret 25). Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora - Semua Halaman - National Geographic. National Geographic Indonesia. Retrieved Juli 14, 2025, from https://nationalgeographic.grid.id/read/132616048/pocut-meurah-intan-perempuan-tangguh-aceh-yang-diasingkan-ke-blora?page=all

Ramadhana, Y. E. (2024, Desember 10). meskipun jadi daerah penopang ketahanan pangan, ketersediaan air Blora masih jadi tantangan. Jawa pos Radar Bojonegoro. Retrieved Juli 16, 2025, from

https://radarbojonegoro.jawapos.com/daerah/715407085/meskipun-jadi-daerah-penopang-ketahanan-pangan-ketersediaan-air-blora-masih-jadi-tantangan

Rumah Batik Serasan. (2024, September 28). Batik daun jati, identitas budaya masyarakat blora yang memikat hati. Rumah Batik Serasan. Retrieved Juli 17, 2025, from https://rumahbatikserasan.com/2024/09/batik-daun-jati/?srsltid=AfmBOooXd3VGUPha8teUAXBlNGEVtiyuQYSbZC4iY_Sa3dWGcMmLsrQJ

Trisnova, R. (2010, Desember). Studi komparasi saminisme dengan Jean Paul Sartre tentang kebebasan (tinjauan filsafat sosial). Jurnal filsafat, 20(3), 262-280. https://doi.org/10.22146/jf.13144

Veer, P. V. '. (1985). Perang Aceh kisah kegagalan Snouck Hurgronje (1st ed.). Grafiti pers.

Warsidi, A. (2021, Oktober 26). Kisah heroik Pocut: bersenjata rencong menantang 18 marsose Belanda (8). Kumparan. Retrieved Juni 25, 2025, from https://kumparan.com/acehkini/kisah-heroik-pocut-bersenjata-rencong-menantang-18-marsose-belanda-8-1wnJhUPqZct/full

Posting Komentar

0 Komentar