Kiat-Kiat Menjadi Warga Negara Yang Baik (Berantakan)

Oleh: Haryono Kapitang

Negara yang elok nan indah, serta kekayaan alam yang melimpah ini dibangun dengan segala bentuk upaya, bahkan darah dan nyawa turut serta menjadi sumbangsih dalam mewujudkan negara berdaulat ini. Maka menjadi warga negara yang baik adalah syarat wajib dan harus terpenuhi sebagai bentuk ‘penghargaan’ terhadap darah dan nyawa yang telah ditumpahkan.

Tentu saja untuk menjadi warga negara yang baik terdapat banyak cara dalam mengekspresikannya, sebut saja tidak membuang sampah sembarangan, tidak melanggar lampu merah, membantu sesama, dan lain sebagainya yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada pula cara-cara unik yang tidak lazim diterapkan warga negara di negeri demokrasi ini. Tidak mudah untuk diterapkan, butuh keahlian khusus. Hanya orang-orang tertentu yang dapat menerapkannya. Congkak dan rakus menjadi syarat utama. Orang miskin dan orang lemah jangan pernah bermimpi untuk bisa menjadi bagian atau golongan mereka, untuk sekedar bertahan hidup saja kita masih terseot-seot.

Siapakah orang-orang yang dimaksud? dan bagaimana cara mereka menjadi warga negara yang baik? Mereka adalah orang-orang yang kita pilih sebagai wakil rakyat, pejabat negara, aparat keamanan negara, ada juga yang berasal dari warga negara biasa seperti kita. Bagi mereka itu lah tingkah laku yang baik, dan mungkin terpuji. perlu kita berikan prestisius. Mari kita mulai dari mereka yang paling sering tampil sumringah di layar kaca—tokoh yang mungkin tampak mulia, namun kerap menyembunyikan kebusukan di balik senyum.

Pimpinan

Pimpinan ialah mereka-mereka yang memiliki jabatan di lembaga pemerintahan, sebut saja eksekutif dan legislatif. Tidak jarang ketika membuka surat kabar, berita online, ataupun media sosial, para pemimpin kita itu terpampang di dalamnya. Bukan dengan raut wajah memelas, tetapi dengan raut wajah yang sumringah.

Jika ada yang bertanya kenapa dengan wajah sumringah? Karena mereka sudah melakukan suatu hal yang menjadikan mereka sebagai warga negara yang baik, mencopet misalnya. Mencopet telah berlangsung lama mulai dari orde lama, orde baru, sampai ke era reformasi saat ini. Gara-gara mencopet, ada salah satu pimpinan dari legislatif, Setyo Novanto, yang terjerat kasus E-KTP secara tiba-tiba bersandiwara bak aktor di sinetron azab. Mungkin kalau difilmkan judul-nya “Azab: Tukang Copet Menabrak Tiang Listrik Hingga Benjol di Kepala”.

Pada jaman dahulu, drama pencopetan pernah mencuat beberapa kali ke permukaan. Pada saat itu (2021) yang menjadi aktornya berasal dari lembaga eksekutif, tepatnya Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Ia ketahuan mencopet benih Lobster. Sedikit informasi, beliau ini anak emas dari salah satu calon presiden yang selalu gagal jadi presiden selama dua periode berturut-turut. Keduanya tergabung dalam Kabinet Jokowi-Amin.

Belum sampai satu bulan, bahkan belum lewat seminggu Om Edhy ketahuan mencopet, tiba-tiba publik dihebohkan dengan mencuatnya kembali kasus pencopetan oleh salah satu menteri di rezim Jokowi-Amin. Kali ini tersangkanya adalah Mensos (Menteri Sosial), Juliari Peter Batubara. Sasaran atau target operasinya adalah dana Bansos (Bantuan Sosial).

Setyo Novanto, om Edhy, dan Mas Peter hanyalah sampel dari banyaknya orang yang satu merek dengan mereka. Betapa mereka telah ‘berusaha keras’ menjadi warga negara yang ‘baik’—tentu menurut definisi mereka sendiri. Hal tersebut adalah best practice yang dijunjung tinggi.

Aparat Keamanan Negara

Berbeda dengan pejabat negara, aparat keamanan negara memiliki cara sendiri untuk menjadi warga negara yang baik. Secara lazim, mereka bertugas mengayomi, menjaga dan melindungi masyarakat. Tetapi sekali lagi, ada kelompok yang mungkin bosan dengan cara-cara lazim tersebut, atau bisa jadi sekedar kreatifitas tingkat tinggi yang dimiliki mereka. Menembak mati warga sipil, misalnya.

Dua tahun belakangan ini sudah terdapat beberapa warga sipil yang tertembak mati oleh mereka. Poro Duka di Pesisir Marosi Sumba Barat harus menelan peluru tajam hingga kehilangan nyawa ketika melakukan aksi protes membela tanah adatnya, yang hendak dicopet kembali oleh korporasi, PT Sutera Marosi. Tidak hanya itu, sebelum insiden penembakan terjadi, mereka juga melakukan penyiksaan terhadap warga sipil yang ikut mempertahankan apa yang telah diwariskan leluhur.

Hal serupa juga dialami oleh Randy, seorang demonstran yang melakukan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah, dalam tempo sesingkat-singkatnya peluru menembus dada bagian kanannya. Randy bukan kriminal, bukan pula bandar narkoba, dia hanyalah seorang pemuda yang menyampaikan aspirasi kepada pemerintah sebagai bentuk pengungkapan cinta terhadap negaranya. Namun, lagi-lagi aparat keamanan negara menunjukan kreatifitas tingkat tinggi. Apa boleh buat, ibarat nasi sudah menjadi bubur kemudian basi, Randy tak dapat hidup kembali.

Lebih dari pada itu, yang terbaru dan masih hangat, enam anggota FPI (Front Pembela Islam) juga harus menelan peluru aparat keamanan yang menembus dada mereka. Pembahasan ini tidak pada siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi apapun alasannya, penghilangan nyawa manusia adalah kejahatan luar biasa. Ralat, bukan kejahatan, melainkan kreativitas tingkat tinggi aparat keamanan negara.

Masyarakat

Jika diperhatikan, ada semacam polarisasi yang tumbuh di tengah masyarakat. Terlebih pra dan pasca pemilihan presiden periode 2019-2024. Siapa yang tidak kenal cebong dan kampret? Mungkin hanya masyarakat pedalaman tanpa sinyal-jaringan yang tidak mengetahui hal tersebut.

Pola itu semakin berkembang biak menjadi suatu hal yang mengerikan. Pasca cebong dan kampret, kafir-mengkafirkan menjadi hal lumrah. Bagi masyarakat yang pro terhadap pemerintah dianggap kafir dan pro komunis, jika ada masyarakat yang mengkritik pemerintah di cap tidak pancasilais, separatis, anti NKRI dan pembangkang.

Bagi masyarakat yang diam dicap pasif, dan siapa yang lantang dicap subversif. Hal tersebut mendatangkan kebingungan dan kegaduhan yang luar biasa di negeri ini. Tapi tidak perlu risau, itu lah seni hidup masyarakat di negara ‘demokrasi’ ini. Tidak ditemukan di kisah Mahabarata atau kisah lampu ajaib Aladin, hanya ada di Indonesia.

 



 

Posting Komentar

0 Komentar